Memohon Ampunan Atas Dosa
Penulis rahimahullah berkata, “Dan semoga Allah menjadikan kamu termasuk orang yang apabila berbuat dosa maka dia pun beristighfar.”
Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Karena sesungguhnya seorang yang bertauhid tidak bisa tidak terkadang muncul dari dalam dirinya sikap berpaling -dari ketaatan- dan pasti dia pun pernah melakukan dosa. Bisa jadi itu berupa dosa-dosa kecil atau bahkan mungkin dosa besar. Sementara Allah jalla wa ‘ala memiliki nama al-Ghafur/Yang Maha Pengampun; dan pengaruh dari kandungan nama ini pastilah tampak pada makhluk dan ciptaan-Nya. Oleh sebab itu Allah mencintai hamba-Nya yang bertauhid dan ikhlas untuk senantiasa beristighfar. Dan istighfar itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari seorang ahli tauhid. Seorang hamba apabila dia meninggalkan keagungan istighfar maka muncullah sifat sombong padanya. Padahal kesombongan itu akan menghapuskan banyak amal.” (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 6)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan dosa niscaya Allah akan menciptakan kaum-kaum yang mereka berbuat dosa kemudian mereka pun beristighfar sehingga Allah mengampuni dosa mereka.” (HR. Muslim)
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia lah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar : 53)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (An-Nuur : 31)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Apabila engkau berbuat dosa -wahai saudaraku hamba Allah- maka kembalilah kepada Rabbmu. Ingatlah bahwasanya engkau memiliki Rabb yang mengetahui pandangan mata yang khianat dan mengetahui apa-apa yang tersembunyi di dalam dada. Dan bahwasanya Dia maha mengampuni dosa dan akan menerima taubat bagi orang-orang yang mau tulus bertaubat.” (lihat Syarh Syaikh as-Suhaimi, hal. 4)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Dosa adalah suatu hal yang pasti terjadi. Dosa pada anak Adam adalah perkara yang pasti ada. Dia pasti pernah terjerumus dalam doa. Dosa-dosa manusia itu sangatlah banyak. Akan tetapi hendaklah hamba itu senantiasa memperbanyak istighfar. Pemimpin anak keturunan Adam -yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– adalah orang yang paling banyak beristighfar. Tidak ada diantara hamba-hamba Allah yang lebih banyak beristighfar daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang sudah diampuni Allah. Meskipun demikian beliau adalah orang yang paling sering beristighfar.” (lihat Syarh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 13-14)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah. Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari)
Dari al-Agharr bin Yasar al-Muzani radhiyallahu’anhu, dia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya aku bertaubat dalam sehari sampai seratus kali.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam pasti melakukan banyak kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang selalu bertaubat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, sanadnya dinyatakan hasan oleh Al-Albani)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang yang bertaubat dari dosa maka seolah-olah dia seperti orang yang tidak punya dosa sama sekali.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani, dinyatakan hasan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar)
Rabi’ bin Khutsaim rahimahullah berkata kepada para sahabatnya, “Apakah kalian mengetahui apakah itu penyakit, obat, dan penyembuhnya?” mereka menjawab, “Tidak.” Beliau pun berkata, “Penyakit itu adalah dosa-dosa. Obatnya adalah istighfar. Dan penyembuhnya adalah kamu bertaubat dan tidak mengulanginya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/264)
Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada kalian tentang penyakit dan obat bagi kalian. Adapun penyakit kalian adalah dosa-dosa, sedangkan obatnya adalah istighfar.” (lihat Tazkiyat an-Nufus, hal. 52)
Hilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan. Akan tetapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat durhaka.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/267)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Aku telah berjumpa dengan orang-orang yang seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan harta sepenuh bumi maka hal itu tidak bisa membuat mereka merasa aman karena begitu besarnya dosa dalam pandangan dirinya.” (Aina Nahnu min Ha’ula’i, 3/94)
Masruq bin Al-Ajda’ rahimahullah berkata, “Sungguh seorang membutuhkan banyak kesempatan untuk menyendiri dalam rangka mengingat-ingat dosanya dan memohon ampun atas hal itu semua.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/300)
Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu berkata, “Bertemanlah kalian dengan orang-orang yang gemar bertaubat, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/303)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Menangisi kesalahan akan bisa menghapus dosa-dosa sebagaimana angin yang menerbangkan daun-daun yang kering.” (lihat Aina Nahnu, 3/117)
Ada seorang lelaki bertanya kepada Hatim Al-Asham rahimahullah, “Apakah yang kamu idam-idamkan?”. Beliau menjawab, “Aku mendambakan keselamatan/’afiat semenjak siang hari hingga malam.” Lalu dikatakan kepadanya, “Bukankah hari-hari -yang kamu lalui- selama ini semuanya adalah dalam keadaan afiat/selamat?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya hari keselamatan/afiat bagiku adalah hari dimana aku tidak berbuat maksiat kepada Allah pada hari itu.” (ihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/49)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Cukuplah menjadi sebuah dosa apabila seorang selalu menceritakan setiap berita/kabar yang dia dengar/dapatkan.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/76)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mengetahui bahwa ucapannya adalah bagian dari amalnya, maka akan sedikit ucapannya kecuali dalam apa-apa yang penting dan bermanfaat baginya.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/72)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Wahai lisan, ucapkanlah kebaikan niscaya kamu akan mendapatkan segudang kebaikan, dan diamlah kamu dari mengucapkan keburukan nisaya kamu selamat.” (lihat Aina Nahnu min Ha’ula’i, 2/76)
al-Hasan rahimahullah berkata, “Melakukan kebaikan/ketaatan memunculkan cahaya bagi hati dan kekuatan bagi badan. Adapun melakukan kejelekan/dosa melahirkan kegelapan di dalam hati dan kelemahan badan.” (lihat Tafsir Ibnu Rajab, Jilid 2 hal. 135)
Abu Dzar radhiyallahu’anhu berkata, “Tidakkah engkau melihat umat manusia, betapa banyaknya mereka? Tidak ada yang baik diantara mereka kecuali orang yang bertakwa atau orang yang bertaubat.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliya’, hal. 225)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masing memiliki lawan. Barangsiapa kehilangan pokok tersebut dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Seandainya setiap kali usai melakukan maksiat seorang insan melemparkan ke dalam rumahnya sebuah batu, niscaya rumahnya akan penuh dengan batu dalam jangka waktu yang singkat. Akan tetapi kenyataannya orang cenderung bermudah-mudahan, sehingga ia terus ‘memelihara’ maksiat, padahal maksiat-maksiat itu dicatat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah menghitung/mencatatnya, namun mereka justru melupakannya.” (Al-Mujadilah: 6).” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 472)
Tiga Tonggak Kebahagiaan
Penulis rahimahullah berkata, “Karena sesungguhnya ketiga hal itu adalah tonggak kebahagiaan.” Yang dimaksud ‘ketiga perkara itu’ adalah; syukur ketika mendapat nikmat, sabar ketika tertimpa musibah, dan istighfar ketika terjerumus dalam dosa dan maksiat.
Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Setiap kali bertambah besar ma’rifat dan pemahaman seorang hamba kepada Rabbnya maka semakin besar pula peranan ketiga perkara ini. Semakin besar tauhid di dalam hati seorang maka semakin besar pula kedudukan tiga hal ini di dalam dirinya…” (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 6)
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah mengatakan, “Maka seorang insan selalu berada diantara nikmat yang kemudian dia bersyukur atasnya, atau terkena musibah sehingga dia pun bersabar, atau perbuatan dosa yang membuatnya lantas beristighfar. Apabila seorang insan selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat dari-Nya, bersabar apabila tertimpa musibah, dan bertaubat serta beristighfar apabila melakukan dosa; maka ketiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.” (lihat Syarh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi, hal. 6)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ketiga perkara ini : apabila diberi nikmat bersyukur, apabila diberi cobaan bersabar, dan apabila berbuat dosa beristighfar, adalah tanda kebahagiaan. Barangsiapa yang diberi taufik terhadapnya maka dia pasti meraih kebahagiaan. Dan barangsiapa yang terhalang darinya -atau dari sebagiannya- maka sesungguhnya dia adalah orang yang celaka.” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 11)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pada bagian awal kitab al-Wabil ash-Shayyib telah memaparkan tentang pentingnya syukur, sabar, dan istighfar ini. Beliau berkata, “Hanya Allah subhanahu wa ta’ala tempat untuk berdoa dan berharap agar doa ini dikabulkan, semoga Allah melindungi kalian di dunia maupun di akhirat. Dan semoga Allah melimpahkan kepada kalian kenikmatan lahir dan batin. Semoga Allah menjadikan kalian termasuk orang yang apabila diberi nikmat kemudian bersyukur, apabila diberi cobaan bisa bersabar, dan apabila berbuat dosa lantas beristighfar. Karena sesungguhnya ketiga hal itu adalah tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda keberuntungan dirinya di dunia dan di akhirat…” (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 3)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah serta senantiasa membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
Bahaya Dosa dan Maksiat
Untuk menyempurnakan pembahasan ini maka berikut ini kami nukilkan nasihat salah seorang ulama kita di masa kini mengenai besarnya bahaya dosa dan maksiat dalam kehidupan kita.
Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah berkata :
Sesungguhnya seorang bisa jadi terhalang dari rizki disebabkan dosa, yaitu dosa-dosa merupakan sebab terjadinya segala musibah dan bencana. Ia merupakan sebab terhalang dari rizki baik yang berkaitan dengan individu maupun masyarakat.
Kalau lah bukan karena maaf dari Allah jalla wa ‘ala dan kelembutan-Nya kepada hamba-hamba-Nya niscaya Allah tidak akan menunda-nunda atas mereka siksaan sementara mereka selalu berbuat durhaka kepada-Nya siang dan malam.
Oleh sebab itu, Allah berfirman (yang artinya), “Maka hal itu disebabkan karena ulah tangan-tangan kalian dan Allah memaafkan banyak kesalahan.” (Asy-Syura : 30)
Dan Allah juga berfirman (yang artinya), “Seandainya Allah mau untuk menyiksa manusia akibat dosa-dosa yang mereka kerjakan maka niscaya Allah tidak akan menyisakan satu pun binatang melata di atas muka bumi ini.” (Fathir : 45)
Allah subhanahu wa ta’ala cemburu tatkala perkara-perkara yang diharamkan oleh-Nya justru diterjang oleh manusia. Masalahnya adalah -sebagaimana bisa anda lihat dan saksikan sendiri- begitu banyak maksiat/perbuatan keji.
Tatkala kekejian dan maksiat begitu tampak dan merajalela di tengah-tengah masyarakat Islam. Walaupun di sana banyak dijumpai orang-orang yang baik, yang salih, dan juga banyak ahli ibadah dan zuhud. Akan tetapi di saat yang sama kemaksiatan juga begitu banyak.
Disebutkan dalam hadits yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apakah kami akan binasa sementara diantara kami banyak orang salih?” maka beliau menjawab, “Iya, apabila perbuatan maksiat telah merajalela.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa kita sedang berada di dalam bahaya yang sangat besar. Oleh sebab itu wajib atas kita untuk kembali memeriksa keadaan diri kita, keadaan orang-orang yang berada di bawah tanggungan dan kekuasaan kita, dan siapa saja yang kita bisa berperan untuk memberi manfaat kebaikan kepadanya di antara kaum muslimin. Wallahul musta’aan.